Translate

Home » » Koin untuk KPK, Wujud Lain dari Gratifikasi?

Koin untuk KPK, Wujud Lain dari Gratifikasi?

Koin untuk KPK - Wujud Lainkah dari Gratifikasi?
Akhir-akhir ini KPK menjadi sorotan media dan masyarakat terkait rencana pembangunan gedung baru untuk KPK. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan memotong gaji mereka untuk mewujudkan rencana pembangunan gedung KPK baru. Hal ini karena Komisi III DPR RI belum menyetujui anggaran pembangunan gedung baru KPK. "Kami masih menunggu dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Kami pimpinan KPK sepakat akan memotong gaji kami," kata Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, di Yogyakarta, Rabu (27/6/2012).
Saat ini, masih kata Busyro, pimpinan KPK masih membahas pelaksanaan pemotongan gaji sebagai alternatif jika anggaran pembangunan gedung baru tidak segera disetujui oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat RI. "Pelaksanaannya nanti, tunggu kepastian dari DPR," tukas Busyro. Terkait adanya anggapan bahwa saweran dari rakyat akan menjatuhkan citra KPK, Busyro menegaskan, citra KPK tidak akan jatuh dengan menerima saweran dari rakyat untuk membangun gedung KPK baru. Penjelasan pihak KPK, total biaya yang dibutuhkan untuk membangun gedung di tanah seluas 27.600 meter persegi mencapai Rp 225,7 miliar. Rincian anggarannya yakni biaya pekerjaan fisik senilai Rp 215 miliar, konsultan perencana Rp 5,48 miliar, manajemen konstruksi Rp 4,38 miliar, dan pengelolaan kegiatan Rp 766 juta. "Saya kira tidak menjatuhkan citra KPK. Kalau lembaga negara korupsi dan tidak amanah itu jatuh. Kalau didukung rakyat, mana jatuh. Tidak ada logikanya," tegas Busyro.
Pengacara senior asal Surabaya, Trimoelja D. Soerjadi mengatakan bahwa sumbangan uang dari berbagai pihak untuk pembangunan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan gratifikasi. "Sesuai undang-undang tentang korupsi, dinamakan gratifikasi kalau diberikan kepada pejabat. Sedangkan dalam kasus ini, KPK bukan termasuk pejabat melainkan sebuah institusi," ujarnya kepada wartawan di Surabaya, Selasa. Sumbangan berupa uang dari berbagai pihak di Indonesia untuk pembangunan gedung KPK sampai saat ini masih mengalir dan menuai pro dan kontra. Tidak sedikit juga yang menyangka hal itu merupakan bentuk dari sebuah gratifikasi dan bermuatan korupsi.
Namun, menurut Trimoelja, tindakan tersebut merupakan gerakan spontan yang sedikit banyak menyindir para wakil rakyat di DPR RI karena dinilai lamban melakukan penganggaran. "Sehingga, untuk menjauhkan dari kontroversi maka KPK tidak mau mengelola uang hasil sumbangan dan diserahkan ke lembaga swadaya masyarakat yang menangani korupsi, semisal 'Indonesia Corruption Watch' (ICW)," kata mantan pengacara kasus yang melibatkan Bibit-Chandra tersebut. Nantinya, lanjut dia, usai dana terkumpul tentu harus ada bentuk pertanggungjawaban dan diaudit oleh kantor akuntan publik. Selain itu, bisa saja uang diserahkan dari ICW ke Kementerian Keuangan RI dan menjadi sebuah pendapatan negara bukan pajak.
Sementara itu, dukungan untuk gedung baru KPK terus berdatangan kali ini dari Cirebon, Ribuan pedagang kaki lima di Kota Cirebon, Jawa Barat, yang tergabung dalam sebuah forum pedagang, terus mengumpulkan koin untuk pembangunan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketua Forum Pedagang Kaki Lima, (FPKL) Cirebon, Ade, Senin, mengatakan aksi yang dilakukan para pedagang ini adalah bentuk dukungan moral untuk KPK.

            Warga Malang, mulai Rabu, 27 Juni 2012, mengumpulkan koin untuk membantu anggaran pembangunan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aksi pengumpulan koin digerakkan Pusat Pengembangan Otonomi Daerah Universitas Brawijaya Malang. Mereka mengedarkan kardus bertuliskan Koin untuk KPK untuk meminta sumbangan warga yang melewati Jalan Veteran, Kota Malang, yang berada di depan kampus Universitas Brawijaya. "Berapapun dana yang terkumpul kami kirim ke KPK," kata koordinator aksi, Syahrul Sajidin. Menurut Syahrul, dana yang terkumpul akan dikirimkan melalui Indonesia Corruption watch (ICW). Syahrul dan kawan-kawannya yang berjumlah 20 orang merasa senang karena warga Malang antusias menyumbangkan uang untuk upaya pemberantasan korupsi.

Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Gede Pasek Suardika menyatakan parlemen masih terbelah soal gedung baru Komisi Pemberantasan Korupsi. Fraksi Partai Demokrat, kata Pasek, termasuk yang setuju mencabut tanda bintang anggaran pembangunan gedung itu. “Fraksi Demokrat posisinya di sana (mendukung),” kata Pasek di komplek parlemen Senayan, Selasa, 3 Juli 2012. Demokrat, kata dia, tak cuma mendukung pembanguan gedung baru KPK, tapi juga untuk Komnas HAM dan Badan Nasional  Penanggulangan Terorisme.

             Pasek menganggap penggalangan dana publik untuk pembangunan gedung baru KPK menarik untuk dicermati. “Sejarah yang akan mencatat,” ujarnya. “Ini fenomena yang menarik bagi saya.” Adapun Ruhut Sitompul, juga politikus Demokrat, meminta koleganya di Komisi Hukum mendukung pembangunan gedung KPK. “Ikuti arus dan perbaiki,” katanya. “Rakyat siap mendukung penuh KPK. Begitu juga saya: Ruhut Poltak Sitompul.”

             Menurut Ruhut, DPR harus realistis ketika meminta KPK cepat menuntaskan kasus-kasus besar. “Mengalahlah untuk menang. Bagaimana kita mengharapkan KPK bekerja begitu cepat sementara infrastrukturnya jelek” ujarnya. Anggota Komisi I DPR Effendi Choirie menyumbang uang untuk pembangunan gedung baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sumbangan tersebut ia serahkan langsung Posko Saweran Gedung KPK, di kantor KPK, Jakarta, Jum’at (6/7).

             Bersama tokoh lain, seperti Adhi Massardi, Marwan Batubara, serta sejumlah aktivis, Effendi menyerahkan saweran Rp 400 ribu. Tindakan Effendi itu bertolak belakang dengan politisi di Senayan. Selain itu, ia juga berpesan KPK serius dan tidak tebang pilih dalam menuntaskan kasus korupsi. Saweran gedung baru KPK tidak saja memicu animo besar di Tanah Air untuk saling menyumbang, tetapi juga warga negara Indonesia di luar negeri. Salah satunya yang dilakukan WNI di Melbourne. Di negeri Kanguru itu, masyarakat dan mahasiswa Indonesia beramai-ramai mengumpulkan uang untuk membantu pembangunan gedung baru KPK. "Teman-teman mulai saweran untuk gedung KPK mulai sekitar dua minggu lalu. Kita sepakat rencananya hasil dari saweran ini nanti akan kami sampaikan lewat ICW tanggal 31 Juli," ujar penggagas gerakan dukungan untuk KPK, Ali Murtado, saat dihubungi detikcom, Sabtu, (7/7/2012).

             Menurutnya, ia bersama mahasiswa dan masyarakat lain asal Indonesia yang berada di Melbourne mengikuti perkembangan KPK melalui media. Selain soal makin giatnya KPK dalam memeriksa dan menangkap pelaku tindak pidana korupsi, juga soal wacana pembangunan gedung baru yang membuat mereka harus responsif. "Tetapi kalau pada akhirnya DPR menyetuji pembangunan gedung baru KPK, kami tetap akan menyerahkan uang saweran ini untuk KPK agar dimanfaatkan dalam bentuk lain," tuturnya.

              Ia menerangkan bahwa saweran yang digelar mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Melbourne, berbeda dengan yang biasa dilakukan di Indonesia. Kalau di Indonesia biasa dengan saweran di jalan-jalan, di Melbourne penyumbang hanya diminta mentransfer langsung ke nomor rekening tertentu. "Kami tidak mengemis tapi saweran lewat transfer. Ada tempat (posko) bagi yang mau menyumbang, ada dua rumah yang menjadi tempt posko. Saat ini sudah ada sekitar 30an orang Indoensia yang menyumbang," ucap mahasiswa University of Melbourne itu. Saya kira pembangunan gedung itu harus diletakkan dalam penguatan KPK secara keseluruhan, bukan soal gedungnya tapi soal keberpihakan DPR dan penyelenggara negara terhadap pemberantasan korupsi, dan gedung bagian dari penguatan itu," imbuhnya.
              Dari hari ke hari, duit saweran untuk membantu biaya pembangunan gedung baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus bertambah. Hingga hari ini, jumlah uang yang masuk mencapai Rp 204,2 juta.  "Hingga Sabtu, jam 4 sore ini sudah terkumpul Rp. 204.266.675," kata Koordinator Koalisi Koin untuk KPK, Ilian Deta Artasari saat dihubungi detikcom, Sabtu (7/7/2012). Selain bantuan berupa uang, koalisi ini juga menerima bahan bangunan seperti semen, paku dan pintu teralis besi. "Semen 4 sak, paku 2 kg, 1 rol kawat dan 1 pintu teralis," ujar Ilian. Koalisi Koin untuk KPK, membatasi jumlah nominal sumbangan yakni Rp 10 juta per orang. Donatur dapat memberikan bantuan uang melalui rekening BNI Cabang Melawai Jakarta Selatan nomor rekening 0056124374 atas nama perkumpulan ICW. Bagi warga yang ingin menyumbang langsung, posko koin untuk KPK dibuka mulai pukul 09.00 WIB sampai 15.00 WIB setiap hari kerja, di halaman gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan.
            Anggaran dana pembangunan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi yang sedang dibahas sekarang ini, harus disetujui DPR, kata Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saefuddin. Anggaran itu penting supaya pelaksanaan pembangunan gedung KPK yang baru nanti dapat direalisasikan secepat mungkin, kata Lukman Hakim di Palembang, Kamis (28/6). Pentingnya pembangunan gedung KPK itu agar proses pemberantasan korupsi bisa dilaksanakan secara maksimal. Gedung sebagai tempat kerja yang juga faktor pendukung dalam melaksanakan tugas, sehingga itu harus direalisasikan.
             Namun, bila anggaran yang diusulkan tersebut ditolak dikhawatirkan pembangunannya nanti melalui sumbangan dari masyarakat. Masyarakat jangan lagi dibebani biaya pembangunan gedung KPK itu, karena sudah menjadi tugas pemerintah, katanya. Seharusnya pembangunan tidak lagi membebankan masyarakat apalagi gedung tersebut untuk pemberantasan korupsi. Jadi DPR bersama pemerintah harus berjuang untuk mewujudkan pembangunan gedung KPK itu, sehingga perlu didukung bersama. Ia menambahkan, sebagai anggota MPR pihaknya sangat mendukung rencana pembangunan gedung KPK yang baru itu, dengan harapan kinerja anggota pemberantasan korupsi ke depan lebih maksimal.
             Lalu apakah saweran untuk gedung baru KPK tersebut merupakan wujud lain dari praktik gratifikasi, sejalan dengan isu yang beredar marilah kita mempelajari sejenak apa penjelasan dari wujud gratifikasi itu sebenarnya. Berdasarkan data yang diambil dari situs resmi KPK, adalah sebagai beikut;
A: Apakah yang dimaksud dengan gratifikasi?
Q: Menurut UU No. 20 tahun 2001, penjelasan pasal 12b ayat (1) , gratifikasi adalah €œpemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya€
. Gratifikasi tersebut baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, dan dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik ataupun tanpa sarana elektronik.

A: Mengapa gratifikasi perlu dilaporkan?
Q: Korupsi seringkali berawal dari kebiasaan yang tidak disadari oleh setiap pegawai negeri dan pejabat penyelenggara negera, misalnya penerimaan hadiah oleh pejabat penyelenggara/pegawai negeri dan keluarganya dalam suatu acara pribadi, atau menerima pemberian suatu fasilitas tertentu yang tidak wajar. Hal semacam ini semakin lama akan menjadi kebiasaan yang cepat atau lambat akan memengaruhi pengambilan keputusan oleh pegawai negeri atau pejabat penyelenggara negara yang bersangkutan. Banyak orang berpendapat bahwa pemberian tersebut sekadar tanda terima kasih dan sah-sah saja. Namun, perlu disadari bahwa pemberian tersebut selalu terkait dengan jabatan yang dipangku oleh penerima serta kemungkinan adanya kepentingan-kepentingan dari pemberi, dan pada saatnya pejabat penerima akan berbuat sesuatu untuk kepentingan pemberi sebagai balas jasa.

A: Siapakah yang dimaksud "pejabat penyelenggara negara" dan "pegawai negeri" dalam konteks gratifikasi ini?

Q: Berdasarkan UU No. 28 tahun 1999, bab II pasal 2, penyelenggara negera meliputi pejabat negera pada lembaga tertinggi negara; pejabat negara pada lembaga tinggi negara; menteri; gubernur; hakim; pejabat negara lainnya seperti duta besar, wakil gubernur, bupati; wali kota dan wakilnya; pejabat lainnya yang memiliki fungsi strategis seperti: komisaris, direksi, dan pejabat struktural pada BUMN dan BUMD; pimpinan Bank Indonesia; pimpinan perguruan tinggi; pejabat eselon I dan pejabat lainnya yang disamakan pada lingkungan sipil dan militer; jaksa; penyidik; panitera pengadilan; dan pimpinan proyek atau bendaharawan proyek.

Sementara yang dimaksud dengan pegawai negeri, sesuai dengan UU No 31. tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan No. 20 Tahun 2001, meliputi: pegawai pada MA dan MK; pegawai pada kementerian/departemen &LPDN; pegawai pada Kejagung; pegawai pada Bank Indonesia; pimpinan dan pegawai pada sekretariat MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi/Dati II; pegawai pada perguruan tinggi; pegawai pada komisi atau badan yang dibentuk berdasarkan UU, Kepres, maupun PP; pimpinan dan pegawai pada sekretariat presiden, sekretariat wakil presiden, dan seskab dan sekmil; pegawai pada BUMN dan BUMD; pegawai pada lembaga peradilan; anggota TNI dan Polri serta pegawai sipil di lingkungan TNI dan Polri; serta pimpinan dan pegawai di lingkungan pemerintah daerah daerah tingkat I dan  II.

A: Apakah yang menjadi dasar hukum gratifikasi?
Q: Berdasarkan UU No. 20 tahun 2001 pasal 12b ayat (1), setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: Yang nilainya Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi (pembuktian terbalik) Yang nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh penuntut umum. Ditambahkan dalam pasal 12b ayat (2), ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12b ayat (1) tidak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal gratifikasi tersebut diterimanya.

A: Apakah terdapat sanksi jika tidak melaporkan gratifikasi?
Q: Ya, pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 12b ayat (1) adalah: Pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit  Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

A: Bagaimanakah tata cara pelaporan gratifikasi?
Q: Berdasarkan UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 pasal 12c ayat (2) dan UU  No. 30 tahun 2002 pasal 16, setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepad KPK, dengan tata cara sebagai berikut: Penerima gratifikasi wajib melaporkan penerimaannya selambat-lambatnya 30 (tiga uluh) hari kerja kepada KPK, terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh KPK dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi Formulir yang dimaksud sekurang-kurangnya memuat nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi; jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara; tempat dan waktu penerima gratifikasi; uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan nilai gratifikasi yang diterima.

A: Di manakah saya dapat memperoleh formulir gratifikasi?
Q: Formulir pelaporan gratifikasi dapat diperoleh di kantor KPK, atau dapat pula diunduh (download) dari website KPK di
www.kpk.go.id, pada halaman khusus mengenai pelaporan gratifikasi.

A: Ke manakah saya harus menghubungi jika membutuhkan informasi lain tentang gratifikasi?

Q: Anda dapat menghubungi Direktorat Gratifikasi KPK. Jl. HR rasuna Said Kav C-1 Jakarta Selatan 12920 Telp: (021) 25578300 Faks: (021) 52892448.  www. kpk.go.id
Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
  • Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
  • Pengecualian
    Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) :
    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan yang mengatur Gratifikasi adalah:
Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK
Penjelasan aturan Hukum
Pasal 12 UU No. 20/2001
Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar:
  1. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
  2. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Sanksi
Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Dari halaman Wikipedia
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik [1]
Walaupun batas minimum belum ada, namun ada usulan pemerintah melalui Menkominfo pada tahun 2005 bahwa pemberian dibawah Rp. 250.000,- supaya tidak dimasukkan ke dalam kelompok gratifikasi. Namun hal ini belum diputuskan dan masih dalam wacana diskusi. Dilain pihak masyarakat sebagai pelapor dan melaporkan gratifikasi di atas Rp. 250.000,- wajib dilindungi sesuai PP71/2000.
Landasan hukum tindak gratifikasi diatur dalam UU 31/1999 dan UU 20/2001 Pasal 12 dimana ancamannya adalah dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Pada UU 20/2001 setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

Contoh kasus yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi

  • Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif, karena hal ini dapat memengaruhi legislasi dan implementasinya oleh eksekutif.
  • Cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/kelulusan.
  • Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas, oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian (polisi lalu lintas), retribusi (dinas pendapatan daerah), LLAJR dan masyarakat (preman). Apabila kasus ini terjadi KPK menyarankan agar laporan dipublikasikan oleh media massa dan dilakukan penindakan tegas terhadap pelaku.
  • Penyediaan biaya tambahan (fee) 10-20 persen dari nilai proyek.
  • Uang retribusi untuk masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pendapatan Daerah.
  • Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke pejabat.
  • Perjalanan wisata bagi bupati menjelang akhir jabatan.
  • Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah (karena biasanya sudah tersedia anggaran untuk pembangunan tempat ibadah dimana anggaran tersebut harus dipergunakan sesuai dengan pos anggaran dan keperluan tambahan dana dapat menggunakan kotak amal).
  • Hadiah pernikahan untuk keluarga PNS yang melewati batas kewajaran.
  • Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang "dipercepat" dengan uang tambahan.
  • Mensponsori konferensi internasional tanpa menyebutkan biaya perjalanan yang transparan dan kegunaannya, adanya penerimaan ganda, dengan jumlah tidak masuk akal.
  • Pengurusan izin yang dipersulit
Bagaimana dengan pendapat Anda, apakah Koin untuk KPK, Bentuk Lain Dari Gratifikasi?
Daftar Bacaan ; 
  1. Kompas Regional
  2. Republika
  3. Antara
  4. Tempo
  5. Tempo
  6. Metro TV
  7. Detik
  8. News Detik
  9. Republika
  10. Google
  11. Modul KPK
  12. KPK

Share this article :

No comments:

Post a Comment

 
Supported by : Santosa Innovation | Terminal Air Budiraja Mertasinga - Cirebon
Copyright © 2013. Mesanint - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger