Jakarta (ANTARA) - Wakil Sekjen PKS Mahfudz Siddiq
mengatakan bahwa menyampaikan ajaran agama sesuai kitab suci bukan
tindakan SARA. "Jika ada pihak yang menyampaikan ajaran agamanya sesuai dengan
firman Tuhan seperti yang tertulis dalam kitab suci dianggap melakukan
tindakan SARA, saya rasa itu sangat menyakitkan," katanya kepada pers di
Jakarta, Rabu.
Dia menilai, pernyataan sejumlah pihak yang menuding bahwa menyampaikan firman Allah yang diyakini oleh umat Islam mengenai tata cara memilih pemimpin dalam Islam agar memilih pemimpin yang mukmin, sebagai tindakan SARA dan kehilangan akal sehat, adalah pernyataan yang dapat merusak kerukunan umat beragama yang sudah terjalin sangat baik saat ini di Indonesia.
Dalam hal ini, kata dia, Islam yang mengajarkan umatnya untuk memilih pemimpin dengan kriteria seorang mukmin dan bukan sekadar Islam yang dianggap SARA, maka hal ini tentunya merupakan pelecehan dan penghinaan terhadap umat Islam pada khususnya dan umat beragama pada umumnya.
"Ini juga berpotensi memecah kerukunan umat yang saat ini sudah terjalin baik," ujar Mahfudz, politisi PKS yang juga Ketua Komisi I DPR RI. Dia meminta kepada siapapun yang menganggap bahwa menyampaikan firman Tuhan sebagai satu hal yang salah karena menyangkut SARA, untuk meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia yang cinta damai.
"Kenapa kalau untuk Sulut, Papua, Aceh dan Bali itu bukan SARA, tapi untuk Jakarta itu dibilang SARA? Apakah masyarakat Sulut, Papua, Aceh dan Bali yang mayoritas penduduknya memilih pemimpin yang seiman dengan mereka dianggap SARA? Apakah mereka tidak merasa terhina dengan pernyataan ini? Ini yang saya maksudkan pernyataannya itu bisa memecah belah kerukunan," katanya.
Dia juga mengatakan bahwa ada baiknya pemimpin itu dari kalangan mayoritas. Jika seseorang menjadi pemimpin tentunya harus bisa memahami rakyatnya dan pemimpin yang lebih bisa memahami rakyatnya itu jika berasal dari mayoritas. Dia mengatakan, pemimpin dari kalangan mayoritas tentunya akan lebih bisa mengayomi masyarakatnya yang mayoritas dan tetap bisa melindungi masyarakatnya yang minoritas. "Di sinilah indahnya demokrasi," katanya.
Menurut Mahfudz, pandangan politik tiap orang adalah hak yang dijamin dalam negara demokrasi, termasuk pandangan yang mengacu kepada nilai-nilai agama. Oleh karena itu, jika ada yang melarang atau menyudutkan pandangan politik berdasarkan agama maka hal itu merupakan sikap anti-demokrasi.
"Kita harus waspada pada upaya-upaya menggiring opini bahwa politik tidak boleh membawa-bawa pandangan agama, nantinya kita jadi negara sekuler. Ini berbahaya karena konstitusi kita menegaskan nilai-nilai ke-Tuhan-an adalah nilai dasar bangsa Indonesia," katanya.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Persatuan Guru Ngaji (Perguji) Anas Nasuhasobri. Dia menegaskan selama ini justru ada yang memainkan isu SARA dan menuding umat Islam yang melakukannya. Umat beragama tentunya memilih berdasarkan keyakinannya juga. "Inilah demokrasi, orang bebas memilih termasuk memilih dengan keyakinannya, apapun keyakinannya. Orang Islam dan umat agama lainnya tidak pernah mempermasalahkan hal itu," ujarnya.
Dia menilai, pernyataan sejumlah pihak yang menuding bahwa menyampaikan firman Allah yang diyakini oleh umat Islam mengenai tata cara memilih pemimpin dalam Islam agar memilih pemimpin yang mukmin, sebagai tindakan SARA dan kehilangan akal sehat, adalah pernyataan yang dapat merusak kerukunan umat beragama yang sudah terjalin sangat baik saat ini di Indonesia.
Dalam hal ini, kata dia, Islam yang mengajarkan umatnya untuk memilih pemimpin dengan kriteria seorang mukmin dan bukan sekadar Islam yang dianggap SARA, maka hal ini tentunya merupakan pelecehan dan penghinaan terhadap umat Islam pada khususnya dan umat beragama pada umumnya.
"Ini juga berpotensi memecah kerukunan umat yang saat ini sudah terjalin baik," ujar Mahfudz, politisi PKS yang juga Ketua Komisi I DPR RI. Dia meminta kepada siapapun yang menganggap bahwa menyampaikan firman Tuhan sebagai satu hal yang salah karena menyangkut SARA, untuk meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia yang cinta damai.
"Kenapa kalau untuk Sulut, Papua, Aceh dan Bali itu bukan SARA, tapi untuk Jakarta itu dibilang SARA? Apakah masyarakat Sulut, Papua, Aceh dan Bali yang mayoritas penduduknya memilih pemimpin yang seiman dengan mereka dianggap SARA? Apakah mereka tidak merasa terhina dengan pernyataan ini? Ini yang saya maksudkan pernyataannya itu bisa memecah belah kerukunan," katanya.
Dia juga mengatakan bahwa ada baiknya pemimpin itu dari kalangan mayoritas. Jika seseorang menjadi pemimpin tentunya harus bisa memahami rakyatnya dan pemimpin yang lebih bisa memahami rakyatnya itu jika berasal dari mayoritas. Dia mengatakan, pemimpin dari kalangan mayoritas tentunya akan lebih bisa mengayomi masyarakatnya yang mayoritas dan tetap bisa melindungi masyarakatnya yang minoritas. "Di sinilah indahnya demokrasi," katanya.
Menurut Mahfudz, pandangan politik tiap orang adalah hak yang dijamin dalam negara demokrasi, termasuk pandangan yang mengacu kepada nilai-nilai agama. Oleh karena itu, jika ada yang melarang atau menyudutkan pandangan politik berdasarkan agama maka hal itu merupakan sikap anti-demokrasi.
"Kita harus waspada pada upaya-upaya menggiring opini bahwa politik tidak boleh membawa-bawa pandangan agama, nantinya kita jadi negara sekuler. Ini berbahaya karena konstitusi kita menegaskan nilai-nilai ke-Tuhan-an adalah nilai dasar bangsa Indonesia," katanya.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Persatuan Guru Ngaji (Perguji) Anas Nasuhasobri. Dia menegaskan selama ini justru ada yang memainkan isu SARA dan menuding umat Islam yang melakukannya. Umat beragama tentunya memilih berdasarkan keyakinannya juga. "Inilah demokrasi, orang bebas memilih termasuk memilih dengan keyakinannya, apapun keyakinannya. Orang Islam dan umat agama lainnya tidak pernah mempermasalahkan hal itu," ujarnya.
No comments:
Post a Comment