Pengusaha China, Chen Guangbiao, menjual udara segar dalam kaleng
minuman ringan, mirip air minum kemasan, saat China bagian utara kembali
tercekik asap beracun.
Konsentrasi partikel polusi udara terkecil dan mematikan, yang secara ilmiah disebut PM2.5, melonjak di grafik, Selasa (29/1/2013) dini hari. Lonjakan itu merupakan yang kedua bulan ini, berdasarkan data pengukur polusi di Kedutaan Besar Amerika di Beijing. Indeks Kualitas Udara, yang dirancang Lembaga Perlindungan Lingkungan AS, tidak bisa menjangkau level yang melebihi 500 mikrogram per kubik meter, yang merupakan 20 kali lipat dari standar kualitas udara yang ditentukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pengukur polusi kedutaan AS telah melonjak di kisaran "berbahaya", yaitu 300-500 mikrogram sejak Jumat lalu, lapor Sydney Morning Herald yang diteruskan oleh KOMPAS.com — BEIJING.
Berdasarkan acuan WHO, angka rata-rata konsentrasi partikel polusi terkecil (PM2.5) tidak boleh melebihi ambang 25 mikrogram per kubik meter agar udara tetap dapat dinyatakan aman untuk manusia. Udara sudah dinyatakan berbahaya dihirup bila angkanya melebihi 100 mikrogram. Kalau angka tersebut mencapai 300, anak-anak dan lansia diwajibkan berdiam di dalam rumah.
Chen Guangbiao, yang kekayaannya menurut Hurun Report bernilai 740 juta dollar AS (Rp 7,1 triliun), menjual udara kalengnya seharga lima yuan (Rp 7.700) per kaleng. Udara segar itu diklaim punya rasa atmosfer, termasuk pristine Tibet, post-industrial Taiwan, dan revolutionary Yan'an, wilayah basis awal Partai Komunis China.
Chen mengatakan kepada Fairfax Media, dirinya ingin membuat titik bahwa udara China telah berubah menjadi begitu buruk sehingga ide udara segar dalam botol bukan lagi sesuatu yang aneh. "Jika kita tidak mulai merawat lingkungan maka setelah 20 atau 30 tahun anak-anak dan cucu kita mungkin mengenakan masker gas dan membawa tabung oksigen," kata Chen.
Awal bulan ini konsentrasi partikel polusi 2,5 PM di Beijing dan kota-kota lain mencapai tingkat tertinggi sejak pengukuran dimulai, yaitu setara dengan yang direkam selama "London Fog" yang terkenal itu. Kejadian itu bahkan mendominasi media-media yang dikendalikan negara. Rumah sakit-rumah sakit melaporkan kenaikan tajam jumlah pasien dengan kasus terkait pernapasan. Para pemimpin politik pun mengambil langkah-langkah darurat bagi pengurangan pencemaran dan bersumpah untuk mengatasi masalah mendasar itu.
Sejak saat itu langit Beijing sebagian besar tetap suram. Jarak pandang secara konsisten menurun hingga hanya 200 meter yang terjadi beberapa kali dalam beberapa hari terakhir. Foto-foto satelit NASA memperlihatkan asap tebal berwarna abu-abu menyelimuti dataran padat penduduk China utara.
Chen dikenal karena aksi sosial dan sikap nasionalistis yang terungkap secara luas, termasuk menyumbang buat para korban gempa dengan uang 100 yuan dan beriklan satu halaman penuh di New York Times yang menyamakan klaim teritorial Jepang atas Kepulauan Senkaku (yang di China dikenal sebagai Diaoyu) dengan Jepang mengklaim Hawaii.
Chen mengatakan kepada Fairfax Media, ia tidak terganggu oleh seringnya reaksi sinis netizens China, yang menuduh dia menggunakan aksi amal untuk meningkatkan profil bisnisnya. "Orang-orang bilang saya high profile atau suka mementaskan sebuah pertunjukan, tapi saya tidak berpikir mereka yang mencari 'stabilitas' dan low profile dapat berbuat banyak untuk kemajuan sosial," kata Chen. "Saya yakin tentang apa yang saya lakukan dan saya berani meletakkan itu di bawah sinar matahari," katanya.
Chen mengatakan, banyak pengusaha China yang "mengorbankan keturunan mereka" demi keuntungan jangka pendek. Walau dunia tidak kiamat pada 21 Desember lalu, hari terakhir dalam kalender Maya, ia mengatakan, bukti-bukti menunjukkan bahwa kiamat mungkin tidak terlalu lama lagi. "Saya bekerja di industri perlindungan lingkungan selama satu dekade ... dan saya menyaksikan fakta bahwa polusi semakin buruk dan kian buruk," kata Chen.
"Semakin banyak bencana terjadi setiap tahun," katanya. "2012 tidak menjadi akhir dari dunia, tetapi jika manusia terus mengonsumsi sumber daya, terus mencemari lingkungan, saya pikir kiamat akan tiba."
Editor : Santosa
No comments:
Post a Comment