Foto Santosa Innovation, pada saat banjir di Kec. Gunung Jati Cirebon |
Ketika Gunung Merapi meletus pada 21 September 2010 dan disusul
dengan beberapa letusan berikutnya dalam rentang waktu yang berdekatan,
berdampak pada sektor permukiman, infrastruktur, telekomunikasi, listrik
dan energi, serta air bersih. Di sektor permukiman, akibat erupsi
Gunung Merapi telah mengubur sejumlah dusun di Provinsi DI Yogyakarta
dan mengakibatkan ribuan rumah penduduk mengalami kerusakan. Tercatat
2.636 unit rumah rusak berat dan tidak layak huni, 156 rumah rusak
sedang, dan 632 rumah rusak ringan, sehingga secara keseluruhan 3.424
rumah di wilayah Provinsi DI Yogyakarta yang mengalami kerusakan dampak
erupsi Gunung Merapi. Sementara di wilayah Provinsi Jawa Tengah,
tercatat total 3.705 rumah yang mengalami kerusakan akibat erupsi Gunung
Merapi, dengan sebaran 551 rumah rusak berat, 950 rumah rusak sedang,
dan 2.204 rumah rusak ringan.
Berdasarkan hasil penilaian kerusakan dan kerugian yang diakibatkan
erupsi Gunung Merapi, sesuai data tanggal 31 Desember 2010 yang
dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dampak bencana
erupsi Gunung Merapi tersebut telah menimbulkan kerusakan dan kerugian
sebesar Rp. 3,557 triliun. Kerusakan dan kerugian terbesar terjadi pada
sektor ekonomi produktif dengan perkiraan kerusakan dan kerugian
mencapai Rp. 1,692 triliun (46,64% dari total nilai kerusakan dan
kerugian), kemudian diikuti sektor infrastruktur sebesar Rp. 707,427
miliar (19,50%), sektor perumahan Rp. 626,651 miliar (17,27%),
lintassektor Rp. 408,758 miliar (13.22%), dan sektor sosial Rp. 122,472
miliar (3,38%).
Data dari dua bencana diatas sama sekali tak mewakili puluhan atau
bahkan ratusan ribu bencana yang pernah terjadi di negeri ini. Namun dua
data tersebut sedikit menggambarkan bahwa bencana boleh disebut sebagai
penyebab kemiskinan tercepat di muka bumi ini, seperti yang dilansir oleh situs MRI.or.id.
Bisa dibayangkan, gempa selalu terjadi dalam hitungan detik, namun
dampaknya sangat luar biasa. Tsunami pun demikian, sebagai rangkaian
dari gempa prosesnya hanya beberapa menit, namun daya hancurnya sangat
dahsyat. Angin puting beliung, biasanya hanya berlangsung dalam hitungan
menit, ia mampu melibas dan menerbangkan apa saja yang dilintasinya
seperti rumah, kendaraan atau hewan ternak. Belum lagi banjir bandang,
datangnya tiba-tiba, beberapa menit saja. Rumah, ladang dan kebun,
ternak dan perniagaan langsung habis tersapu banjir.
Banyak orang tak mengira bahwa perniagaan yang dijalani puluhan
tahun, rumah yang dibangun dengan biaya ratusan juta bahkan miliaran
rupiah, perkebunan yang turun temurun menghidupi keluarga, kendaraan
yang dibeli dengan jerih payah hasil bekerja bertahun-tahun, perabotan
rumah yang dicicil beberapa bulan dan tahun, perhiasan yang disimpan
bertahun-tahun untuk bekal pendidikan anak-anak saat dewasa nanti, dalam
sekejap hilang, hancur, ludes terberangus bencana. Saat itu juga,
sebagian orang tak mampu menahan tangis, sebagian lain bahkan merasa
hidupnya sudah habis sehingga berpikir lebih baik mengakhiri hidup.
Putus asa.
Kehadiran para relawan dan donatur ke lokasi bencana, seperti
menghidupkan kembali harapan mereka. Bahwa mereka tak sendiri meratapi
nasib, bahwa ada yang masih mau mendengar tangisannya, memeluk deritanya
dan menghapus air mata dukanya. Namun kesedihan tak serta merta usai
saat gempa, tsunami, banjir bandang, angin puting beliung dan bencana
lainnya berlalu.
Sebagai contoh kita bicara banjir dan dampak yang ditimbulkannya.
Saat banjir tiba, rumah terendam hingga menyisakan atap. Tak satupun
barang-barang berharga yang sempat diselamatkan kecuali baju yang
menempel di badan. Di dalam rumah, ada banyak perabot rumah yang rusak
oleh banjir, elektronik yang tak mungkin lagi bisa digunakan, perhiasan
yang hanyut, tempat tidur yang basah dan berlumpur, pakaian yang habis
terseret banjir, buku-buku dan peralatan sekolah yang rusak dan hilang,
serta rumah yang setelah banjir surut biasanya masih dipenuhi lumpur
setinggi satu meter.
Bayangkan sedihnya seorang ibu yang tak lagi miliki perabot rumah
dan dapur. Televisi yang baru dicicil dua bulan rusak, namun masih wajib
mencicil hingga setahun ke depan. Perhiasan yang disimpan sebagai
tabungan pun raib. Anak-anak meratapi sepatu yang pekan lalu baru
dibelikan ayahnya, setelah bertahun-tahun ayahnya tak membelikan sepatu
baru untuk gantikan sepatunya yang sobek, usang dan kesempitan. Berapa
belas ribu anak yang bersedih lantaran semua perlengkapan sekolah dan
buku-bukunya tak lagi bisa dipakai. Meski ada yang tak hanyut, sudah
pasti basah, rusak dan berlumpur. Bagaimana dengan sang Ayah? Bebannya
terasa lebih berat. Bertahun-tahun membangun kehidupan di rumah
kecilnya, memenuhi kebutuhan keluarganya, tiba-tiba semuanya hancur
seketika. Kuatkah ia membangun kehidupannya kembali?
Masyarakat yang sebelum bencana hidup dalam kecukupan, serta merta
menjadi miskin, sama miskinnya dengan tetangga yang sebelumnya memang
sudah miskin. Sawah, ladang , kebun dan tambak yang sudah digarapnya
berbulan-bulan pun gagal dipanen. Padahal, mereka sudah siapkan rencana
syukuran panen raya pekan depan. Toko dan perniagaan yang diusahakannya
selama ini, kini kosong melompong tersapu banjir. Tak ada lagi yang
datang ke tokonya, karena tak ada yang membeli dan tak ada pula yang
bisa dibeli. Para peternak yang menatap sedih kandang ternaknya yang
hancur dan mengubur satu persatu ternaknya, terasa seperti ia tengah
mengubur semua mimpi dan harapannya.
Beberapa warga boleh jadi ada yang tengah menyiapkan pesta
pernikahan anaknya. Tenda sudah berdiri, bahan makanan sudah dibeli,
undangan telah disebar, tiba-tiba tertunda. Tenda tetap berdiri tanpa
ada riuh pesta para tamu undangan. Dan yang pasti senyum kebahagiaan
kedua mempelai pun tertunda.
Bagaimana dengan warga yang sudah hidup dalam kemiskinan sebelum
terjadi banjir? Rumah berdinding geribik dengan mudah terbawa aruh
banjir. Saat banjir surut, mereka tak hanya kehilangan harta benda di
dalam rumahnya, bahkan rumahnya ikut lenyap. Selama bertahun-tahun
mereka hidup di rumah “surga”nya itu, kini semuanya terenggut bencana.
Sawah tak punya, ladang dan kebun pun tidak ada. Selama ini kepala
keluarga hanya menggarap sawah milik orang lain, kini pun tak lagi bisa
bekerja karena ladang dan kebun orang lain pun ikut tersapu banjir.
Setelah banjir, bukan hanya tak memiliki apa-apa lagi, bahkan
hutang pun segera membelit mereka. Disaat seperti ini, para rentenir
datang bak malaikat, seperti memberi angin segar namun menjerat leher
mereka perlahan-lahan. Hutang semakin besar. Tak adakah program kredit
lunak bagi mereka?
Setelah banjir, anak-anak dan balita terancam kesehatan dan gizinya
drop. Paska banjir, saat ayah dan ibunya tak lagi memiliki apapun,
sekadar untuk bisa makan hari itu, susu pun tak terbeli. Kesehatan
menurun, anak-anak kekurangan gizi. Puskesmas masih tutup karena tak ada
persediaan obat, posyandu pun masih penuh lumpur.
Tak sekadar milik pribadi, fasilitas umum dan fasilitas sosial pun
terkena dampak banjir hebat. Tempat ibadah yang ikut rusak dan
berlumpur, semua fasilitasnya tak lagi berfungsi. Pengeras suara tua
yang selama ini menjadi andalan pemanggil ibadah pun berakhir masa
jasanya. Karpet berlumpur, kitab-kitab serta buku pelajaran mengaji
anak-anak habis. Sampai berapa lama tak terdengar lagi panggilan adzan
di kampung itu? Sampai kapan anak-anak menunggu untuk bisa mengaji lagi
setiap sore?
Sekolah-sekolah yang tak luput dari terjangan banjir. Lantainya
berlumpur, meja kursi patah, rusak karena sebelum banjir pun sudah lapuk
dimakan rayap. Buku-buku pelajaran di perpustakaan penuh lumpur, alat
peraga pendidikan tak lagi utuh. Catatan-catatan pendidikan, raport
hasil belajar seluruh siswa, dokumen penting sekolah, bahkan mungkin
honor guru bulan ini ikut terbawa banjir.
Puskesmas dengan semua fasilitas di dalamnya ikut terendam. Tak
lagi higienis, tak layak pakai. Sudah pasti seluruh obat persediaan
terendam. Sementara saat dan paska banjir, warga membutuhkan pelayanan
kesehatan. Para dokter, mantri dan perawat pun sibuk mengurusi rumah dan
keluarganya masing-masing yang juga terkena banjir.
Kantor desa banjir, lurah dan segenap pegawai kelurahan tak sempat
menyelamatkan arsip warga. Tak ada lagi keramaian di pasar yang selama
ini berperan besar dalam perputaran ekonomi warga. Jembatan putus,
akibatnya warga terisolir, perekonomian tersendat, pasokan bahan makanan
terhenti, aktifitas warga terbatas, anak-anak harus menempuh jalur
memutar yang sangat jauh untuk bisa ke sekolah.
Warga korban banjir, meski banjirnya usai namun duka mereka masih panjang. Kepedulian semestinya tak ikut surut bersama surutnya banjir. Karena surutnya banjir tak berarti berakhirnya duka mereka. Mereka masih membutuhkan uluran tangan kita untuk membangun kembali mimpi, harapan dan cita-citanya. Mereka akan mulai menata kembali puing-puing kehidupannya yang lenyap diterjang banjir, kebersamaan kita akan memberi semangat luar biasa bagi mereka.
Editor : Santosa
No comments:
Post a Comment